tiktok

Merenungkan Doa Puisi Menteri Agama

Tahun ini adalah kali kedua upacara peringatan detik-detik proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia di Istana Negara diadakan dalam bayang-bayang pandemi. Nyaris tidak ada hal yang berbeda dengan upacara tahun lalu. Masih dengan kesederhanaan dan jumlah peserta yang sangat terbatas. Namun, ada satu hal yang menurut saya cukup menarik dan perlu diapresiasi. Yaitu doa yang dibacakan oleh menteri agama Yaqut Cholil Qoumas.

Saya tidak akan mengomentari tentang bagaimana Gus Yaqut (begitulah biasanya beliau disapa) membaca doa. Bukan soal lancar atau tidaknya. Juga bukan soal kefasihannya. Sebagai ketua umum salah satu organisasi kepemudaan yang sangat besar di Indonesia tentu hal itu sudah menjadi makanan sehari-hari bagi Gus Yaqut. Meskipun ini adalah kali pertama beliau bertugas membaca doa pada upacara peringatan kemerdekaan setelah resmi dilantik menjadi menteri agama Desember 2020 lalu. Bagi saya soal kelancaran dan kefasihan beliau sudah nyaris sempurna.

Nah, yang menarik untuk disoroti adalah isi dari doa yang beliau baca. Jika disimak dengan seksama doa ini terasa begitu berbeda dengan doa-doa yang lazim dibaca pada upacara peringatan kemerdekaan tahun-tahun sebelumnya. Doa ini terdengar seperti mantra yang memiliki daya magis. Juga seperti syair indah yang begitu mengharu biru. Susunan dan pilihan katanya terasa spesial. Sehingga tidak salah jika disebut doa puisi, yaitu doa sekaligus puisi.

Saat pertama kali mendengar doa yang puitis ini dibacakan, saya menduga ada campur tangan KH. Ahmad Mustofa Bisri, seorang Kyai cum sastrawan yang akrab disapa Gus Mus. Publik tentu tahu Gus Mus merupakan Paman dari Gus Yaqut. Selain itu, jika dicermati dalam doa tersebut memiliki gaya yang hampir mirip dengan puisi-puisi Gus Mus. Bagi orang yang akrab dengan karya-karya Gus Mus tentu akan merasakan kekhasan ini. Dan ternyata memang Gus Mus adalah orang yang menyusun doa ini, sebagaimana dijelaskan oleh Gus Yaqut dalam akun Facebook beliau.

Hal lain yang juga menarik untuk dibedah selain rasa sastranya adalah muatan kalimat-kalimat yang sarat dengan makna dan perenungan. Kata perkatanya sangat dekat dengan kenyataan yang terjadi akhir-akhir ini. Setidaknya saya menangkap ada 3 poin penting yang patut direnungkan dari doa tersebut.

Pertama tentang mensyukuri nikmat kemerdekaan. Indonesia telah dianugerahi kemerdekaan selama 76 tahun. Tapi nikmat kemerdekaan ini belum bisa disyukuri dengan saling bersatu untuk membangun kebaikan bersama. Konflik rasialis dan keagamaan masih sering terjadi. Munculnya kelompok-kelompok radikal juga masih menjadi masalah yang tidak bisa disepelekan. Persekusi dan juga penindasan kepada minoritas masih kerap dijumpai.

Indonesia memang sudah merdeka dari penjajah Belanda, tapi bukan berarti penjajahan telah selesai. Penjajah-penjajah baru muncul kemudian. Lebih miris lagi penjajah-penjajah baru tersebut bisa berasal dari bangsa sendiri. Yang memiliki kelebihan menjajah yang kekurangan. Yang super menjadi penjajah bagi yang minor. Yang memiliki kuasa menjajah yang tidak berdaya. Ini jelas menunjukkan mensyukuri kemerdekaan belum bisa diwujudkan dengan bentuk kemaslahatan bersama.

Poin kedua yang patut direnungkan adalah Kegagalan menangkap anugerah keindahan yang sejati. Saat ini banyak orang yang lebih memilih keindahan imitasi dan mengaburkan keindahan yang sejati. Keindahan harta dan segala macam kemewahan lebih menarik untuk diwujudkan meski dengan cara korupsi. Keindahan kuasa lebih menggiurkan untuk dikejar meski dengan cara suap atau sogokan. Keindahan kejayaan kelompok dan golongan lebih memikat meski diwujudkan dengan penindasan.

Banyak yang gagal menemukan keindahan yang muncul dalam berbagai nikmat dan anugerah yang Tuhan berikan. Sebagaimana yang disebutkan dalam doa tersebut ada beragam keindahan yang seringkali tidak dilihat sebagai keindahan. Seringkali orang sulit menemukan keindahan dari kemerdekaan, kesederhanaan, kebijaksanaan, kemanusiaan, tanggung jawab dan rasa malu. Sehingga berdampak pada sikap yang menjauhi dari keindahan-keindahan tersebut.

ketiga adalah tentang kegelapan-kegelapan yang menyelimuti hati, pikiran dan sikap banyak orang akhir-akhir ini. Gelapnya pandemi yang tidak kunjung berakhir ini benar-benar terasa dampaknya. Pro dan kontra antara yang percaya dan tidak dengan adanya covid-19 yang menimbulkan perdebatan tiada ujung hampir setiap hari mewarnai kehidupan masyarakat. Tak jarang perdebatan tersebut berkembang menjadi caci maki dan kebencian. Keadaan ini juga diperparah dengan kabar atau berita-berita yang akurasinya patut dipertanyakan sangat mudah menyebar dan berseliweran menambah kegelapan semakin kelam.

Masa-masa sulit yang sedang dihadapi saat ini bisa membuat hati menjadi gelap. Curiga dan prasangka begitu mudah menyelinap dan memenuhi sanubari. Akan lebih parah lagi jika pikiran juga dilanda gulita. Sudah tidak mampu lagi menalar kebenaran. Yang ada hanya saling membenci dan merasa benar sendiri. Semua yang tidak sejalan dianggap salah.

Dalam gelapnya nurani maka sulit melihat kebaikan. Keburukan dan tipu daya juga tidak bisa terdeteksi bila hati nir cahaya. Bisa diibaratkan bagaikan berjalan pada lorong gelap tak bisa membedakan arah menuju kebaikan atau arah yang menjerumuskan. Dan salah satu cara untuk selamat dari kegelapan adalah hadirnya cahaya.

Dengan segala kondisi yang dihadapi saat ini, semoga doa yang dibaca Menteri Agama pada upara HUT kemerdekaan RI ke-76 bisa menembus ke langit dan dikabulkan oleh Allah SWT. Semoga cahaya segera terpendar dan menghilangkan segala kegelapan yang melanda dan menjadikan Indonesia benar-benar tangguh dan tumbuh. Aamiin...

Alif Syaichu Rohman

Guru di MTsN 2 Sumenep

*dimuat Jawa Pos Radar Madura edisi Rabu, 25 Agustus 2021


Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Merenungkan Doa Puisi Menteri Agama"

Posting Komentar